TUGAS SOSIOLOGI HUKUM (PENDIDIKAN HUKUM, ILMU HUKUM & PENELITIAN HUKUM DI INDONESIA SEBUAH REORIENTASI)

TUGAS SOSIOLOGI HUKUM

(PENDIDIKAN HUKUM, ILMU HUKUM & PENELITIAN HUKUM

DI INDONESIA SEBUAH REORIENTASI)[1]

Oleh:

Dalinama Telaumbanua,S.H[2]

 

 

  1. I.      Pendahuluan

Pendidikan hukum, ilmu dan penelitian hukum di Fakultas-fakultas hukum sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat dari asumsi Peter Mahmud terhadap kondisi pendidikan hukum, ilmu hukum & penelitian hukum di faklutas-fakultas hukum yaitu pertama pengajaran ilmu hukum di fakultas hukum cenderung menjadi pengajaran ilmu sosial. Kedua pengajaran penelitian hukum di Fakultas-Fakultas Hukum cenderung menjadi pengajaran tentang penelitian sosial. Tujuan akhir hukum adalah mewujudkan ketertiban dan keadilan. Untuk mewujudkan hal ini maka pendidikan hukum, ilmu hukum dna penelitian hukum harus memperoleh penanganan secara serius dan tepat.

 

  1. II.      Pendidikan Hukum

Pendidikan hukum diadakan dengan maksud dan tujuan tertentu. Pendidikan hukum bukan semata-mata pendidikan teori ynag tujuannya untuk kepentingan ilmu per se. Tetapi yang paling penting adalah bahwa pendidikan hukum diperlukan untuk praktik hukum. Tujuan Pendidikan Hukum yaitu ada yang umum dan ada yang khusus. Dari sisi tujuan umum yaitu menghasilkan seorang sarjana yang (brjiwa Pancasila, berkepribadian, dll), menghasilkan tenaga cakap dan terampil yang menguasai metodelogi untuk melakukan penelitian dan lain  sebagainya. Sedangkan tujuan khusus hukum yaitu menghasilkan sarjana hukum yang menguasai hukum Indonesia, mampu menganalisa masalah-masalah hukum dalam masyarakat dan lain sebagainya. Oleh karena hukum memiliki kedudukan yang sangat strategis di dalam suatu Negara maka penyelenggaraan pendidikan hukum perlu dan seyogianya ditangani secara serius dengan merumuskan suatu kurikulum pendidikan hukum yang dapat menghasilkan para yuris yang kompeten dalam penguasaan ilmu hukum karena memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik hukum.

 

  1. III.      Ilmu Hukum

Sinonim dari kata ilmu hukum menurut literatur hukum Belanda memakai istilah rechtswetenschap yang dapat dipergunakan dalam arti luas maupun sempit. Dalam arti luas rechtswetenschap meliputi dogmatik hukum dan teori hukum. Sedangkan dalam arti sempit meliputi dogmatik hukum.

Berikut dipaparkan mengenai lapisan ilmu hukum yang berkaitan dengan konsep ilmu hukum baik dalam arti luas maupun sempit yaitu:

  1. Dogmatik Hukum

Dogmatik hukum adalah ilmu hukum yang sebenarnya. Oleh karena dogmatik hukum merupakan kegiatan ilmiah dalam rangka mempelajari isi sebuah tatanan hukum positif yang konkret. Adapun karakter khas dogmatik hukum sebagai ilmu normative atau preskriptif namap menonjol pada tataran evaluasi terhadap hukum yang berlaku yaitu tidak hanya objeknya norma atau kaidah tetapi sekaligus juga mengandung dimensi mengkaidahi atau menetapkan norma atau kaidah.

  1. Teori Hukum

Konsep teori hukum dapat digunakan dalam arti luas maupun sempit. Dalam arti luas adalah teori tentang hukum (dogmatik hukum, teori hukum dalam arti sempit, filsafat hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum dan lain sebagainya). Sedangkan  konsep teori hukum dalam arti sempit yaitu sebagai meta-teori dogmatik hukum. Ada tiga tugas teori hukum yaitu pertama menganalisis dan menerangkan konsep hukum dan konsep-konsep yuridis, kedua hubungan hukum dengan logika, ketiga metodologi hukum.

  1. Filsafat Hukum

Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yang objeknya hukum sebagaimana sosiologi hukum sebagai cabang dari sosiologi yang objeknya hukum. Jadi stricto sensu filsafat hukum bukan ilmu hukum (sama halnya sosiologi hukum, psikologi hukum, etnologi hukum, logika hukum, sejarah hukum dan informatika hukum). Filsafat hukum termasuk ke dalam teori hukum dalam arti luas. Adapun fungsi filsafat hukum yaitu membantu memberikan interpretasi terbaik dan mencerahkan terhadap norma atau kaidah hukumnya.

  1. Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial

Ilmu hukum adalah ilmu menurut kriterianya sendiri sehingga kemudian ilmu hukum disebut ilmu sui generis. Perkembangan ilmu hukum di Indonesia dewasa ini turut dipengaruhi oleh ilmu-ilmu sosial. Hubungan antara ilmu hukum dan ilmu sosial sangat erat karena hukum tidak hidup diruang hampa.

Ilmu hukum memiliki tradisi yang sangat lama dan secara aksiologis ilmu hukum sebagai ilmu praktis tidak akan berubah sampai kapan pun jua. Ilmu hukum adalah ilmu yang cukup tua jika dibandingkan dengan keberadaan ilmu-ilmu sosial. Jika adigium “ubi societas, ibi ius”, maka keberadaan hukum adalah setua keberadaan masyarakat manusia dan peradabannya.

Analisis ilmu sosial hanya sebatas analisis ex post tetapi tidak antisipatif atau ex ante. Sedangkan ilmu hukum memiliki daya prediktif sangat kuat jika dibandingkan ilmu-ilmu sosial, terlebih dalam rangka legal problems solving (misalnya dalam ilmu hukum dikenal metode interpretasi futuristis sebagai salah satu metode penemuan hukum).

Ilmu hukum dan praktik hukum merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, dengan mengikuti ilmu hukum hakim dapat memberikan keputusan yang dibutuhkan dalam system hukum.  Tanpa itu keputusan-keputusan itu bergantung di awang-awang, tetap terlalu subyektif dan tidak meyakinkan, meskipun keputusan itu dapat dilaksanakan. Sehingga praktik hukum harus berlandaskan pada ilmu hukum. Oleh karena produk dari praktik hukum harus dapat dikembalikan pada satu isu fundamental apakah produk praktik hukum tersebut telah sesuai dengan ilmu hukumnya.

Hukum merupakan seperangkat prinsip/asas, norma/kaidah yang memberikan preskripsi dalam situasi tertentu apakah itu perilaku atau juga preskripsi yang berfungsi untuk memberikan kewenangan. Yang menjadi obyek  ilmu hukum ialah norma/kaidah baik yang ditetapkan atau dipositifkan atau rule-making authority maupun yang diakui atau diterima begitu saja dalam pergaulan hidup manusia. Secara umum norma/kaidah hukum dapat berasal dari hukum positif maupun the living law.

Dalam tiap tata hukum menurut H.Ph.Visser’t Hooft, orang akan melihat tiga acuan dasar yang bekerja dalam waktu yang bersamaan yaitu hukum sebagai putusan yang memiliki otoritas (positivitas), hukum sebagai tatanan (koherensi) dan hukum sebagai pengaturan hubungan antara manusia yang tepat (keadilan). Dari segi positivitas, yuris mencari penyelesaian atas masalah yang dihadapkan kepadanya dengan mengacu pada apa yang sekurang-kurangnya sudah diindikasikan atau dirumuskan oleh Undang-Undang, putusan lembaga peradilan (yurisprudensi) atau oleh ilmu. Dari segi koherensi, ilmu hukum berfungsi mewujudkan kepastian tersebut dengan membangun suatu system norma/kaidah yang koheren atau non-kontrakdiksi, dimana jika terjadi suatu antinomy hal itu diselesaikan melalui derogasi. Sementara dari segi keadilan, hal ini berfungsi untuk menjiwai peraturan yang merupakan bahan dasar untuk diolah oleh ilmu hukum.

 


[1] Tugas Anotasi Sosiologi Hukum dari buku Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum Di Indonesia Sebuah Reorientasi (Titon Slamet, Sri Harini Dwiyatmi dan Dyah Hapsari)

[2] Mahasiswa MIH UKSW angkatan 4

HUKUM ADAT DAN HUKUM KODRAT

HUKUM ADAT DAN HUKUM KODRAT[1]

Oleh:

Dalinama Telaumbanua, S.H[2]

 

Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang masih mengikuti hukum adat. Definisi hukum adat ini berkaitan dengan keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan. Sedangkan hukum kodrat adalah hukum yang dirumuskan dengan mengacu pada hakekat alamiah kita sebagai manusia. Hukum tersebut diketahui melalui pengalaman manusiawi setiap orang. Oleh sebab itu hukum kodrat berlaku universal, karena berbicara soal manusia pada umumnya

Pada mulanya hukum adat (kebiasaan) ini hanya bisa berlaku melalui keputusan pengadilan, maka disini dapat kita ketahui adanya landasan yang jelas untuk peninjauan kembali tindakan legislative sebagaimana yang kemudian terjadi di bawah ketentuan undang-undang tertulis Amerika Serikat. Akan tetapi dibalik pandangan umum, dapat ditemukan pendapat filosofis yang tidak boleh dicampuradukkan dengan hukum kodrat (alam). Karena hukum kodrat (alam) yang dikembangkan dalam abad ke-17 di Benua Eropa adalah sesuatu yang sangat berbeda dan pada kenyataannya didukung oleh James I dan Bacon.

Jadi, hukum adat dan hukum kodrat sama-sama tidak memadai untuk mengatasi persoalan hukum yang ditimbulkan oleh konflik antara raja (eksekutif) dan parlemen (legislatif).


[1] Anotasi dari Buku Friedrich tentang Filsafat Hukum

[2] Calon Advokat Magang 2012