KRITIK TERHADAP TEORI PEMIDANAAN SEBAGAI PENDERITAAN

KRITIK TERHADAP TEORI PEMIDANAAN SEBAGAI

PENDERITAAN

Oleh:

Dalinama Telaumbanua, S.H

 

Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan –kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, dalam perspektif Barat yang kehidupan bersamannya lebih didasarkan pada paham-paham seperti individualisme dan liberalisme. Konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana agaknya cenderung diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai macam kepentingan warga Negara secara individu dari kesewenang-wenangan penguasa.

Konsep demikian antara lain dapat ditelusuri melalui berbagai pemikiran barat khususnya yang terkait dengan gagasan tentang azas legalitas. Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua tujuan diadakannya hukum pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga konsepnya menjadi bahwa hukum pidana diadakan tujuannya adalah disamping untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, sekaligus juga melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan.

Hukum pidana dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari kejahatan. Didalam Etiology terdapat beberapa aliran (mazhab=sekolah) tentang sebab-sebab kejahatan antara lain.

  1. Aliran Biologi-Kriminal (mazhab Italia), penganjurnya adalah DR. C. Lombrosso yang menyimpulkan bahwa memang ada orang jahat dari sejak lahir dan tiap penjahat mempunyai banyak sekali sifat yang menyimpang dari orang-orang biasa.
  2. Aliran Sosiologi-Kriminil (mazhab Prancis), penganjurnya A.Lacassagne, aliran ini menolak aliran diatas dengan mengeluarkan pendapat bahwa seseorang pada dasarnya tidak jahat, ia akan berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak dan sifat masyarakat dimana penjahat itu hidup.
  3. Aliran Bio-Sosiologis, penganjurnya adalah E. Feri, aliran ini merupakan sintesa dari kedua aliran diatas yang menyimpulkan kejahatan itu adalah hasil dari faKtor-faktor individual dan sosial.

Persoalan ini menimbulkan bermacam-macam teori hukum pidana, pada akhirnya teori hukum pidana dibagi dalam 3 jenis, yaitu:

  1. 1.   Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan).

Teori Absolut / retributif / pembalasan (lex talionis) hukuman adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekuensi kejahatan sehingga orang yang salah harus dihukum. Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est).[1] Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut.

Penganut teori ini adalah:

a)    Immanuel Kant (Philosophy of Law)

Seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan (Kategorische Imperiatief)

b)   Hegel

Pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan Negation der Negation (pengingkaran terhadap pengingkaran).

Teori Hegel ini dikenal sebagai quasi mahte-matics, yaitu wrong being (crime) is the negation of right and punishment is the negation of that negation.

Menurut Nigel Walker, penganut teori retributif dibagi dalam beberapa golongan :

(1).    Penganut teori retributif murni (the pure retributivist). Pidana harus sepadan dengan kesalahan.

(2).    Penganut teori retributif tidak murni, dapat dibagi :

(a).    Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist).

Pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan, namun tidak melebihi batas kesepadanan dengan kesalahan terdakwa. Kebanyakan KUHP disusun sesuai dengan teori ini yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas maksimum tersebut.

(b).    Penganut teori retributif yang distributif.

Pidana jangan dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi tidak harus sepadan dan dibatasi oleh kesalahan X strict liability

  1. 2.   Teori relatif (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman.[2] Beberapa doktrin mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik pencegahan umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus (Special Crime). Selain itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.

Penjatuhan pidana tidak untuk memuaskan tuntutan absolut (pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, teori itu disebut :

  1. Teori perlindungan masyarakat
  2. Teori reduktif (untuk mengurangi frekuensi kejahatan)
  3. Teori tujuan, pengimbalan mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat.

Teori Relatif/ tujuan

a)    Menjatuhkan hukuman untuk tujuan tertentu

b)   Seyogyanya hukuman bersifat memperbaiki / merehabilitasi (contohnya: sakit moral harus diobati)

c)    Tekanan pada treatment

d)   Individualisasi pemidanaan

Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (orang berbuat kejahatan) melainkan ne peccetur (agar orang tidak melakukan kejahatan). Tujuan Pidana untuk pencegahan kejahatan yaitu dalam rangka prevensi spesial / pencegahan spesial dan prevensi general / pencegahan umum.

 

  1. 3.   Teori gabungan, menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.

Pembalasan sebagai asas pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui pembalasan yang adil. Dalam ajaran ini diperhitungkan adanya pembalasan, prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan pidana. Penganut teori ini : Pellegrino Rossi, Binding, Merkel, Kohler, Richard Schmid dan Beling.[3] Teori Gabungan (multifungsi)[4]

a)    Pembalasan -> membuat pelaku menderita

b)   Prevensi -> merehabilitasi

c)    Melindungi masyarakat

Restorative justice : pelaku harus mengembalikan keadaan pada kondisi semula, keadilan bukan saja menjatuhkan sanksi namun memperhatikan keadilan bagi korban

 

Dampak Negatif Pemidanaan Sebagai Kritik Terhadap Teori Pemidanaan

Lepas dari faktor-faktor lain, secara jujur diakui bahwa pidana penjara membawa dampak negatif tidak saja bagi yang orang yang bersangkutan, tetapi juga bagi masyarakat. Bagi para tahanan/narapidana (NAPI), penderitaan tidak hanya dialami sendiri, tetapi juga diderita oleh keluarganya dan orang-orang yang hidupnya tergantung pada para tahanan atau NAPI. Bagi masyarakat, kerugian tampak dari sering muncul/timbul residivisme akibat penjatuhan pidana.

Usaha untuk memperbaiki sangsi pidana hendaknya berorientasi pada pendidikan yang dapat menghasilkan karya nyata di masyarakat. Sedangkan sanksi pidana berupa hukuman semata, tidak akan bermanfaat bagi pembaharuan kesadaran hukum, moral dan mental pelanggar hukum, kalau semata-mata hanya untuk mematuhi undang-undang tanpa memperhatikan kesiapan mental, fisik dan spiritual si pelaku/pelanggar hukum.[5]

Stigma (pandangan negatif) terhadap lembaga pemasyarakatan: anggapan pelanggar hukum hanya dapat dibina kalau diasingkan dan dinyatakan sebagai individu yang telah rusak segala-galanya, tidak ada harapan untuk perbaikan. Ini adalah pembalasan yang dilegalisir oleh kenyataan dan kehendak masyarakat.

Pembalasan tidak selalu dalam bentuk-bentuk penyiksan fisik tetapi bisa juga bersifat penekanan psikologis, tertuju pada pelaku maupun keluarga. Wujud pembalasan ini jelas membawa dampak negatif terhadap pelaku dan anggota keluarganya.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) produk Pemerintah Kolonial Belanda, pasal 10 memuat hukuman pokok dan tambahan, antara lain hukuman mati, penjara dan seterusnya. Ini dibenarkan kalau memang sangsi pidana itu dilihat sebagai sarana mempertahankan kekuasaan penjajah.

Pandangan lain menyebutkan bahwa tujuan sangsi pidana semata-mata sebagai reaksi atas pelanggaran yang dilakukan seseorang. Ini berarti pengakuan terhadap hak si pelaku kejahatan belumlah menjadi prioritas. Oleh karena sebetulnya tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat kasus per kasus. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas: pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, dan pengimbangan serta perimbangan.

Penghargaan terhadap citra manusia menjadi dasar utama memperlakukan si terpidana lebih manusiawi. Oleh karena setiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; kemudian narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak, diusahakan tetap dapat mempunyai mata pencaharian.

Individu sebagai anggota masyarakat tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya berbuat jahat. Namun sebagai manusia yang mempunyai citra, harkat juga martabat yang sama di hadapan Tuhan, tentu harus diperlakukan secara bertanggung jawab dan manusiawi. Pemberian sangsi pidana, bukan sebagai pembalasan atau pemanfaatan tenaga manusia untuk kepentingan golongan atau jawatan pemerintah, tetapi bertujuan untuk menyadarkan perilaku menyimpang pada diri si pelanggar hukum tersebut. Sehingga diharapkan konsep tujuan pemidanaan menjadi salah satu prioritas dalam pembahasan RUU KUHP yang menekankan pada upaya untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat, Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dam mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Sehingga pada akhirnya pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

 

 

Daftar Pustaka

CST. Kansil, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Ctk. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Direktorat Jenderal Peraturan prundang-undangan, Departement Hukum dan HAM, Rancangan Undang-undang KUHP, 2005.

http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/08/teori-teori-pemidanaan.html

http://liseyolanda.staff.uii.ac.id/2009/08/26/tujuan-hukum-pidana/#more-3

http://www.rezaalf.co.cc/2009/04/pidana-dan-pemidanaan.html

http://www.terapimusik.co.cc/2010/02/tahanan-narapidana-dan-lembaga.html

 

 

Tinggalkan komentar